Minggu, 24 Juli 2011

Gay Gene, It is genetic's fact or not?

Stay in Bangkok, Thailand for 3 weeks, I was thought about fact in Thailand that many gay here even in educated community. After I read my friend's blog about "gay gene" encourage me to write this article.
Is there any "gay gene" in our chromosome? Is GOD created human being with that gene, but HE prohibit us to be a gay?
I was read many publication, and still try to find is there any correlation between gay and Genetics Science. I looked up many report about sexual disorders and try to find Is there any correlation between sexual disorders and gay.
Finally I've found that there is no gay gene. Many research reported about sexual disorders. Commonly sexual disorders caused by mutation on sexual chromosome that affect to diverge gene expression, ex: higher expression of sexual hormones, anomaly chromosome (XXY), and phenotype changes. But, among of those disorders, no one that caused gay. In my opinion, gay is perspective disorders because “gay’s people” can not accept their self. They want to be another gender and they love person who has the same gender with them.
I believe that GOD never make a mistake when HE created human being. All HIS made are perfect. If any mutation occur in human being it because the wrong habitual life, ex: consume junk food, alcohol, no sport, radioactive, pollution, etc.
So, when somebody ask me about gay, I guess that they are victim of perspective disorder because they no believe in GOD.
Any one agree or disagree with me??

Minggu, 14 November 2010

Genetika vs. Evolusi, Sains ataukah Mitos?

Genetika dan Evolusi merupakan konsep yang saling bermusuhan sejak pertama kali kedua konsep ini dikeluarkan, Gregor Mendel, ebagai Bapak Genetika, dan Charles Darwin, sebagai Bapak Evolusi, hidup dalam masa yang sama yaitu ± th 1858. Pada saat Darwin menyatakan bahwa suatu ciptaan dapat berubah menjadi ciptaan lainnya, Mendel menyatakan bahwa karakteristik individual selalu terjaga konstan. Pemikiran Darwin didasarkan pada kesalahan dan ide yang belum teruji tentang penurunan sifat, sedangkan kesimpulan Mendel didasarkan pada hasil percobaan yang dilakukan dengan teliti.
Awalnya Darwin melakukan observasi pada bentuk paruh burung Finch dari Kepulauan Galapagos. Dalam bukunya ‘The Origin of Species’, Darwin menyatakan tiap individu pada setiap species memiliki kemungkinan untuk survive. Oleh karena itu, individu tersebut harus berjuang dan mengadaptasikan diri untuk mempertahankan eksistensinya. Pada tahap ini, individu tersebut dapat menjadi varian baru atau menjadi bentuk termodifikasi (naturally selection).
Saat yang bersamaan, Mendel melakukan persilangan pada kacang polong dengan perbedaan sifat pada biji, kulit biji, warna polong, bunga dan batang. Mendel melakukan pengujian sampai generasi ke dua dengan ribuan ulangan. Hasilnya didapatkan nilai perbandingan yang selalu konstan. Mendel menyatakan karakteristik tiap individu selalu terjaga konstan, perbedaan yang ada antar organisme dalam satu spesies disebabkan oleh adanya variasi.
Hasil penelitian Mendel tidak pernah mendapat apresiasi, sampai 42 tahun kemudian Hugo de Vries dan Carl Correns melakukan pengujian ulang terhadap hasil penemuan Mendel. Hugo de Vries tidak mengerti tentang hasil penelitian yang diperolehnya, sampai ia membaca tulisan Mendel yang juga menunjukkan hasil yang sama tentang penurunan sifat pada organisme. Melalui de Vries, Mendelisme kemudian dinyatakan oleh ahli-ahli biologi sebagai suatu sains.
Di sisi lain, tidak pernah ada yang mengetahui dasar dari Teori Evolusi. Beberapa creationist menyatakan bahwa pemikiran Darwin didasarkan pada penolakan Darwin akan adanya Sang Pencipta dengan mengelak fakta-fakta adanya ciptaan yang menyatakan keberadaanNya. Hanya dengan mengabaikan fakta-fakta Genetika modern yang memungkinkan untuk mempertahankan sebuah fiksi Teori Evolusi.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada dan adanya pengujian ulang yang memperkuat fakta, Genetika telah dinyatakan sebagai bagian dari keilmuan Biologi. Tetapi disisi lain, Evolusi yang diperkirakan terjadi pada masa lampau, tidak berulang dan tanpa saksi mata kini hanya tinggal sebagai cerita fiksi atau mitos. Sekarang mari kita lihat beberapa fakta Genetika yang membantu kita membangun sebuah keilmuan Biologi berdasarkan penciptaan dan bukan sebuah cerita fiksi evolusi. Untuk memudahkan pemahaman kita tentang perbedaan antar ciptaan yang satu dengan yang lainnya, maka fakta-fakta terkait sumber variasi dikelompokkan menjadi 5, meliputi: lingkungan, persilangan / rekombinasi, mutasi, rekayasa genetika, dan penciptaan.

Lingkungan
Lingkungan merupakan segala faktor eksternal yang mempengaruhi suatu ciptaan selama hidupnya. Misalnya: ada orang yang kulitnya lebih hitam dari yang lain karena sering terkenana sinar matahari. Ada juga orang yang memiliki otot lebih besar dibandingkan yang lain karena terbiasa melakukan pekerjaan fisik yang berat. Semua variasi yang disebabkan oleh lingkungan tidak akan ditrunkan pada generasi berikutnya. Hanya variasi yang bersifat genetis yang diturunkan ke generasi berikutnya.
Charles Darwin tidak sependapat dengan hal itu. Menurut Darwin, suatu ciptaan dapat berubah menjadi ciptaan lain karena faktor lingkungan. Darwin mengutip pendapat Lammarck (1809) tentang leher jerapah yang dapat bertambah panjang untuk menjangkau daun-daunan yang lebih tinggi. Darwin berpendapat perpanjangan leher jerapah ini dapat diturunkan ke generasi berikutnya. 
Persilangan/Recombinasi
Persilangan atau rekombinasi memungkinkan terjadinya penggabungan gen dari individu yang berbeda dalam satu spesies. Hal ini menyebabkan seorang anak akan memiliki gen-gen yang merupakan kombinasi kedua orang tuanya, sehingga gen anak akan mirip orang tuanya tetapi akan tidak sama persis. Penelitian Gregor Mendel tentang prinsip rekombinasi ini memberi kontribusi besar dalam ilmu Genetika.  Mendel menunjukkan jika suatu sifat tersembunyi (tidak muncul) pada suatu generasi, sifat tersebut tidak sepenuhnya hilang namun akan muncul pada generasi mendatang. Jika suatu sifat baru muncul pada suatu generasi, sebenarnya disebabkan oleh faktor genetis karena sifat itu telah ada jauh pada generasi sebelumnya. Rekombinasi juga menyebabkan pembatasan variasi hanya dapat terjadi dalam satu spesies dan jenis variasinyapun terbatas hanya pada kombinasi gen-gen yang telah ada sebelumnya.
Hasil observasi Darwin pada burung finch di kepulauan Galapagos dianggap sebagai salah satu bukti adanya evolusi karena Darwin menjumpai berbagai macam bentuk paruh yang berbeda yang disebabkan oleh gaya hidup dan pola makan burung tersebut. Namun dengan adanya pengetahuan tentang Genetika modern, kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan bentuk paruh burung finch ini dapat terjadi karena variasi akibat adanya proses rekombinasi. Varian-varian yang muncul sekarang adalah akibat ekspresi variabilitas kombinasi gen-gen yang telah ada sebelumnya.

Mutasi
Mutasi atau perubahan susunan urutan DNA kini dianggap sebagai salah satu faktor yang mendukung adanya evolusi. Seperti telah diketahui bahwa DNA merupakan materi genetis yang mengkode penurunan sifat dari generasi ke generasi. Mutasi dapat disebabkan oleh adanya radiasi, virus, transposon, bahan kimia yang bersifat mutagenic ataupun karena eror pada saat proses replikasi DNA. Mutasi dapat menyebabkan berbagai jenis perubahan, dari tidak menyebabkan efek apapun (silent mutation), menyebabkan perubahan pada hasil ekspresi gen, sampai menyebabkan hasil ekspresi gen tidak berfungsi atau berubah secara total.
Penelitian yang dilakukan pada lalat buah (Drosophila melanogaster) menunjukkan bahwa mutasi dapat merubah protein hasil ekspresi gen  menjadi sangat berbahaya. Sekitar 70% perubahan yang disebabkan oleh mutasi mengakibatkan efek yang buruk. Beberapa dampak terjadinya mutasi pada manusia atau hewan adalah munculnya penyakit degeneratif (kerusakan fungsi organ) dan kanker yang berujung pada kematian. Misalnya mutasi akibat pola makan tidak sehat dan lingkungan ekstrim yang penuh dengan mutagen berbahaya.
Sebenarnya sel mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kerusakan akibat adanya mutasi baik yang tidak menyebabkan perubahan ekspresi gen sampai yang berdampak buruk pada kelangsungan hidup. Sel memiliki DNA repair system, yang melibatkan kerja enzim untuk memperbaiki urutan DNA yang mengalami mutasi.  Sebenarnya setiap pengkopian 10.000-100.000 pasangan basa pada proses replikasi DNA terjadi eror 1 kali. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi dapat terjadi setiap hari, namun mengapa tidak ada perubahan ekstrim yang terjadi pada tubuh kita? Hal itu karena adanya  DNA repair system yang melakukan proofreading pada proses pengkopian DNA sehingga meminimalkan terjadinya mutasi.

Rekayasa Genetika
Kemajuan ilmu dalam bidang bioteknologi mendorong dikambangkannya teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan membuat varietas baru yang diinginkan. Berbagai varietas baru telah berhasil ditemukan, misal: jagung tahan hama, tomat tidak mudah busuk, beras dengan kandungan provitamin A, E.coli penghasil insulin, dll. Rekayasa genetika yang dilakukan umunya menyisipkan gen dari suatu organisme ke organisme lain yang bertujuan untuk peningkatan kualitas kehidupan manusia. Walaupun telah dilakukan berbagai macam rekayasa genetis, suatu ciptaan tidak akan pernah berubah menjadi ciptaan lain. Rekayasa genetika hanya menambahkan atau mengurangi sifat tertentu suatu organisme sehingga dihasilkan varian baru.

Penciptaan
Satu-satunya sumber variasi yang dapat menciptakan berbagai spesies yang dapat kita lihat sekarang adalah adanya proses penciptaan. Hanya proses penciptaan yang dapat menjelaskan asal mula dari manusia, hewan maupun tanaman yang ada di sekeliling kita sekarang.

REFFERENCES
Darwin, C. 1958. On the Origin of Species By Means of Natural Selection. The New American Library.
Lane P. L. 1995. Genetics: Enemy of Evolution Creation. Research Society Quarterly 31(4)
Patman, K. 1998. Genetics: no friend of evolution A highly qualified biologist tells it like it is. Creation 20(2):20–22
Laurence Moran. 1997. The Modern Synthesis of Genetics and Evolution.

Selasa, 10 Agustus 2010

Apa itu BIOREMEDIASI ? ?


Definisi
Bioremediasi adalah proses degradasi biologis dari sampah organik pada kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di bawah batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang.
        Sedangkan menurut United States Environmental Protection Agency, bioremediasi adalah suatu proses alami untuk membersihkan bahan-bahn kimia berbahaya. Ketika mikroba mendegradasi bahan berbahaya tersebut,akan dihasilkan air dan gas tidak berbahaya seperti CO2.
Prinsip Bioremediasi
Bioremediasi merupakan proses yang memanfaatkan makhluk hidup terutama  mikroorganisme. Mikroorganisme yang umumnya digunakan sebagai agen bioremediasi adalah bakteri, jamur, atau tanaman. Mikroorganisme yang digunakan dapat berupa indigenus mikroorganisme yang berasal dari daerah yang terkontaminasi yang kemudian dikembangkan sebagai biostimulasi atau bioaugmentasi.
Bioremediasi menjadi efektif jika mikroorganisme harus kontak secara enzimatis pada polutan dan merubahnya menjadi bahan yang didak berbahaya. Efektifitas bioremediasi tercapai jika kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba.
Bioremediasi memiliki keterbatasan antara lain tidak bisa mendegradasi senyawa organik terklorinasi dan hidrokarbon aromatik dalam jumlah tinggi. Namun, pemanfaatan bioremediasi ini lebih murah dari pada jika menggunakan penanganan secara fisik dan kimia. Bioremediasi juga dapat menurunkan kontaminan secara efektif walaupun prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Kelebihan Bioremediasi:
1.Lebih murah dibandingkan metode remediasi laiinya
2.Dapat dikombinasikan dengan tekologi laiinya
3.Tidak menghasilkan waste product

Faktor-Faktor Bioremediation
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi bodegradasi adalah faktor mikrobial, temperatur, nutrien, tipe tanah, pH, kadar air/kelembaban, dan potensial redoks.
Mikroba untuk Proses Bioremediasi
Berdasarkan kemampuan untuk mendegradasi atau meremediasi, mikroorganisme dikelompokkan menjadi:
 1. Aerobik
mikroorganisme yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Misal: Pseudomonas, Alcaligenes, Sphingomonas, Rhodococcus, dan Mycobacterium. Mikroba ini dapat mendegradasi pestisida, hidrokarbon, alkana dan senyawa poliaromatik.
 2. Anaerobik
Mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya, biasanya digunakan untuk mendegradasi Polychorinated biphenyls (PCBs).
3. Jamur Ligninolitik
Umumnya digunakan untuk meremediasi polutan yang bersifat toksik dan presisten. Misalnya: Phanaerochaete chrysosporium
4. Metilotrop
Merupakan bakteri aerobik yang mengunakan metan sebagai sumber karbon dengan menggunakan enzim methane monooxygenase.
Faktor Lingkungan
Agar dapat melakukan bioremediasi pada lingkungan yang terpolusi, mikroorganisme harus distimulasi pertumbuhan dan aktivitasnya. Biostimulasi umumnya berupa nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Nutrien tersebut meliputi nitrogen, karbon dan fosfor. Penambahan senyawa tertentu dapat menstimulasi dan mempertahankan aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi seperti penambahan reseptor elektron (nitrat, oksigen), nutrien (nitrogen, fosfor) dan sumber energi (karbon). Karbon umumnya berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan mikroorganisme dalam berbagai sistem natural.
Selain itu, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan meliputi pH, temperatur, dan kelembaban. Walaupun mikroorganisme tersebut diisolasi dari daerah dengan kondisi ekstrim, tetapi mikroba tersebut tetap memiliki kondisi optimum pertumbuhan.

Metabolisme Miroorganisme dalam Bioremediasi
Berdasarkan model metabolisme mikroorganisme dalam mendegradasi, terdiri atas:
1.  Aerobik
Transformasi terjadi ketika terdapat molekul oksigen sebagai aseptor elektron
2.  Anaerobik
Reaksi yang terjadi apabila tidak ada molekul oksigen, dapat meliputi respirasi anaerobik, fermentasi, dan fermentasi methane.
Respirasi anaerobik: nitrat, sulfat, dan thiosulfat sebagai aseptor elektron. Nitrat terdenitrifikasi oleh organisme pereduksi nitrat, sedangkan sulfat oleh organisme pereduksi sulfat.
Fermentasi: komponen organik berperan sebagai donor dan aceptor elektron.
Fermentasi methane: pemecahan komponen organik secara biokimia menjadi CH4 dan CO2.

Strategi Bioremediasi
Berdasarkan tingkat kejenuhan dan aerasi area, bioremediasi dibagi menjadi 2 yaitu teknik in situ dan ex situ
a.      Bioremediasi In Situ
Merupakan metode dimana mikroorganisme diaplikasikan langsung pada tanah atau air dengan kerusakan yang minimal. Bioremediasi (In situ bioremidiation) juga terbagi atas:
  • Biostimulasi/Bioventing: dengan penambahan nutrient (N, P) dan aseptor elektron (O2) pada lingkungan pertumbuhan mikroorganisme untuk menstimulasi pertumbuhannya. 
  • Bioaugmentasi: dengan menambahkan organisme dari luar (exogenus microorganism) pada subpermukaan yang dapat mendegradasi kontaminan spesifik. 
  • Biosparging: dengan menambahkan injeksi udara dibawah tekanan ke dalam air sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan kecepatan degradasi.
b.      Bioremediasi Ex Situ
Merupakan metode dimana mikroorganisme diaplikasikan pada tanah atau air terkontaminasi yang telah dipindahkan dari tempat asalnya. Teknik ek situ terdiri atas:
  • Landfarming: teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan dipindahkan pada lahan khusus yang secara periodik diamati sampai polutan terdegradasi.
  • Composting: teknik yang melakukan kombinasi antara tanah terkontaminasi dengan tanah yang mengandung pupuk atau senyawa organik yang dapat meningkatkan populasi mikroorganisme.
  • Biopiles: merupakan perpaduan antara landfarming dan composting.
  • Bioreactor: dengan menngunakan aquaeous reaktor pada tanah atau air yang terkontaminasi.
 Aplikasi Bioremediasi
a.      Degradasi Plastik
Saat ini plastik dan polimer sintetik semakin meluas penggunaan dan produksinya. Plastik ini dibuat dari senyawa petrokimia yang bersifat persisten pada lingkungan dan merupakan salah satu penyebab polusi yang paling tinggi. Plastik petrokimia ini membutuhkan waktu ratusan tahun untuk didegradasi. Beberapa usaha mengurangi polusi akibat plastik tersebut dengan:

  • Photobiodegradable plastics. Polimer yang berubah strukturnya ketika diberi perlakuan dengan radiasi UV membentuk material yang biodegradable
  • Starch-linked biodegradable plastics. Pati yang digabungkan pada struktur plastik sehingga dapat didegradasi oleh mikroba
  • Bacterial plastics. Sejumlah mikroba yang secara natural memproduksi polimer biodegradable yang sesuai untuk industri plastik. Misalnya bakteri Alcaligenes eutrophus memproduksi polyester poly-beta-hydroxybutyrate (PHB) sebagai simpanan sisa karbon. Unit monomer dari PHB adalah beta-hydroxybutyrate. Kekuatan, fleksibilitas, dan kristalinitas dari polimer tersebut dipengaruhi oleh jumlah unit penyusunya, media, dan tipe bakteri yang digunakan untuk memproduksi polimer tersebut. Faktor utama yang membatasi penggunaan PHB adalah sifatnya yang rapuh.
  • GMO yang memproduksi plastik. Dengan memasukkan gen dari bakteri penghasil PHB ke tanaman sehingga diharapkan menghasilkan tanaman transgenik penghasil plastik. Namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengatahui dampak tingginya PHB terhadap lingkungan. Masih terlalu dini dan beresiko menumbuhlan PHB dalam skala besar.

b.      Degradasi Hidrokarbon Alifatik
Hidrokarbon alifatik didegradasi secara aerobik oleh bakteri, fungi atau yeast. Reaksi degradasinya meliputi oksidasi pada ujung metil: alkana → alkohol → asam lemak → keton → CO2 dan H2O. Hidrokarbon rantai pendek, hidrokarbon dengan rantai cabang atau berbentuk cincin lebih sulit untuk didegradasi. 
c. Degradasi Hidrokarbon Aromatik
       Mikroorganisme mampu mendegradasi hidrokarbon aromatis cincin tunggal secara aerobik. Hidrokarbon aromatik dengan dua atau tiga cincin seperti naphthalene, anthracene, dan phenanthrene dapat didegradasi secara lambat ketika terdapat oksigen. Sedangkan hidrokarbon aromatik dengan emat cicin sulit didegradasi da bersifat presistent. 
d. Degradasi Hidrokarbon Alifatik Terklorinasi
Degradasi dapat berlangsung secara kimiawi atau biologis. Degradasi dengan menggunakan mikroorganisme hanya menghasilkan degradasi parsial. Hanya sedikit karbon terklorinasi yang dapat digunakan sebagai substrat primer untuk sumber energi dan pertumbuhan.

Jumat, 06 Agustus 2010

Optimization of Ethanol Production from Palmyra Sap by Zymomonas mobilis ZM4 using Response Surface Methodology (RSM)


     Ethanol is believed to be one of the best alternatives to replace gasoline because ethanol is a renewable source and environmentally friendly. Ethanol can be produced from palmyra sap (Borassus flabellifer) using Zymomonas mobilis ZM4 (NRRL B-14234) that known as a superior bacteria with higher ethanol production efficiency and higher ethanol tolerant. 
     To develop a process for maximum production of ethanol, standardization and optimization fermentation is crucial. The quantitative effects of sugar concentration, urea concentration, and inoculums concentration on ethanol production were optimized using a Box- Wilson central composite design (CCD) experiment. Optimization by the classical method using a single dimensional search involving changing one variable while fixing the others at a certain level is laborious and time consuming, especially when the number of variables is large. 
     Optimization using Response Surface Methodology (RSM) is the one suitable method for identifying the effect of individual variables and for seeking the optimum conditions for multivariable system efficiently. Basically, this optimization process involves three major steps: performing the statistically designed experiments, estimating the coefficient in a mathematical model and predicting the response and checking the adequacy of the model. A high similarity was observed between the predicted and experimental results, which reflected the accuracy and applicability of RSM to optimize the process for ethanol production.

Sarang Semut Papua (Myrmecodia pendens), Indonesian's Herbal with High Anticancer Activity

Dewasa ini, kesehatan menjadi isu utama dalam kehidupan masyarakat. Ada berbagai macam penyakit yang mempengaruhi kesehatan manusia, salah satu penyakit yang mematikan adalah kanker. Kanker bukanlah satu penyakit namun merupakan istilah umum bagi sekumpulan  penyakit yang ditandai dengan adanya pertumbuhan sel yang tidak normal dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (Corner, 2001; Yarbro, Frogge and Goodman, 2005). Selanjutnya bila tidak cepat ditangani maka sel kanker akan mempengaruhi sel di sekitarnya, kemudian masuk ke dalam sel darah. Bila hal ini terjadi maka sel kanker akan menyebar ke seluruh tubuh mengikuti aliran darah dan menyebabkan komplikasi kanker (Gabriel, 2007). Sel yang terkena kanker bisa di mana saja. Oleh karena itu, ada berbagai macam jenis kanker sesuai dengan letak di mana terjadi pertumbuhan sel yang tidak normal..
     Kanker sendiri disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti gaya hidup, makanan, polutan, virus, radiasi dan kelainan genetis (Corner, 2001; Richards, 2006; Yarbro, Frogge and Goodman, 2005). Selain itu, kanker juga dipicu oleh adanya reaksi oksidatif radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan struktur protein dan DNA (Ozyurt, 2005). Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2002, diketahui bahwa kanker merupakan penyakit ketiga yang menyebabkan kematian di Indonesia. Selain itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menyatakan setiap 11 menit ada satu penduduk dunia meninggal karena kanker dan setiap tiga menit ada satu penderita kanker baru. Data WHO menunjukkan terdapat lima jenis kanker yang paling banyak diderita masyarakat, yaitu kanker paru, payudara, usus besar, lambung dan hati (Informasi Kesehatan Reproduksi Indonesia, 2007). 
Sampai saat ini belum ada teknik pengobatan kanker yang benar-benar dapat diandalkan, umumnya masih dilakukan dengan kombinasi antara pembedahan, radioterapi dan kemoterapi (DoH, 2004). Oleh karena itu, proses pengobatannya memerlukan waktu yang sangat panjang, penderita harus merasakan tahapan-tahapan efek samping yang  tidak menyenangkan, seperti mual, pusing, diare (Simadibrata, 2004), rambut rontok, malnutrisi (Hariani, 2004), berkurangnya sel-sel darah putih (Hukom, 2007) yang tidak jarang harus berujung pada kematian. 
Awal tahun 2006 banyak publikasi popular mengenai tumbuhan sarang semut yang dianggap mampu mengatasi kanker, asam urat, lever, stroke, jantung koroner, wasir (ambien), nyeri punggung, alergi, tonikum, memperlancar ASI hingga menigkatkan gairah seksual (Anonim, 2006; Pratisto, 2006; Alam dan Waluyo, 2006; Wiyana, 2006; Yuni, 2010). Selain itu, juga terbit buku-buku kesehatan yang mengupas tentang manfaat sarang semut untuk mengatasi berbagai penyakit (Subroto dan Saputro, 2006; Mangan,……). Namun demikian, hanya sedikit ditemukan publikasi-publikasi ilmiah maupun dokumen paten baik di dalam maupun diluar negeri. Publikasi yang ada hanya terbatas pada publikasi tentang sebaran, ekologi, etnobotani dan taksonominya saja (Parinding, 2007). 
Tanaman sarang semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) adalah tanaman herbal yang pertama kali ditemukan di pulau Papua Indonesia Timur. Tanaman ini juga tersebar di beberapa wilayah lain seperti  Sumatera, Kalimantan, Filipina dan Malaysia. Sarang semut telah digunakan secara turun temurun oleh masyarakat pedalaman Papua sebagai obat berbagai penyakit dengan melakukan ekstraksi menggunakan air mendidih pada bagian hipokotil (caudex) tanaman. (Subroto dan Saputro, 2006).  
Senyawa aktif pada ekstrak sarang semut Papua mengandung senyawa golongan flavonoid, tanin dan karbohidrat serta diperkirakan juga mengandung  senyawa golongan glikosida. Uji toksisitas terhadap ekstrak sarang semut dengan metode BSLT menunjukkan aktivitas sitotoksik sebesar LC50 = 37,03 mg/ml dan uji aktifitas antioksidan menunjukkan nilai sebesar IC50 = 30,66 mg/ml (Bustanussalam, 2010). Selain itu, aplikasi ekstrak sarang semut juga tidak menunjukkan efek teratogenik pada tikus putih sehingga dinyatakan aman dikonsumsi oleh ibu hamil (Zahrah, 2010). Berdasarkan hasil penelitian di atas, sarang semut adalah tanaman yang berpotensi sebagai obat antikanker. 
Pengujian antikanker ekstrak air sarang semut yang pertama kali dilakukan pada sel HeLa dan MCM-B2 yang merupakan sel kanker payudara dan usus juga menunjukkan bahwa senyawa aktif ekstrak sarang semut memiliki aktivitas antikanker yang tinggi (Soeksmanto, dkk., 2010). Namun belum ada data lain tentang aktivitas antikanker pada berbagai jenis sel kanker.Oleh karena itu, masih terbuka pintu lebar untuk mengeksporasi dan meneliti tanaman ini.